Featured Post

LPH #98 LAST PART

Episode 98 Last Part
Blitzkrieg Mission : Riot !


(Pov Yosi)



Fuck, gue mesti menghentikan itu samurai, orangnya sih gak seram, yang ngeri itu samurainya ! gue ingat masih mengantungi pulpen bermata pisau di kantung. Gue langsung rogohh, putar penutupnya kemudian gue lemparkan ke arahnya. Dan secara luar biasa, itu pulpen lolos dari jurus kipas angin merk cosmos dari si botak !

Si botak yang gak punya alis, langsung berteriak saat ujung pulpen terbenam di lengan kanannya. Tangannya gemetar dan samurai yang ia ayunkan dengan membabi buta kemudian terlepas dari tangannya. Botak kaget karena samurainya lepas dan jatuh di tanah. Ia lalu melihat ke arah gue !

Sebelum botak meraih samurai dengan tangan kirinya, gue berlari dan gue tangan tangan kirinya yang terjulur.

KRAK !

Entah terkilir, patah atau apa, terdengar suara berderak saat ruas jarinya terkena tendangan. Gue tendang menjauh samurainya. Nah sekarang gue di atas angin !!! si  botak lalu mencabut pulpen yang menancap di lengannya. Karena jemari kirinya sudah keriting, si botak memegang pulpen pisau dengan tangan kanannya yang masih gemetar.

“Hahaha, dari samurai ke pulpen, life is suck, huh?” gue mengejek si botak yang tidak bisa ngebales omongan gue.

Dah lah, sebaiknya segera gue selesaikan.

Gue blok tusukan si botak ke atas dengan lengan kiri, namun karena gue tidak hati-hati, lengan gue sempat tergores, perih namun tidah gue gubris. Selanjutnya gue selesaikan duel ini dengan membenamkan pisau ke perut si botak.

“Uhukk..uhukkk…” dia langsung batuk darah.

“Goodbyee gooons!”

Gue putar tusukan pisau di perutnya lalu gue sikut wajahnya hingga dia tersungkur ke tanah. Sekilas gue lihat dia masih ada nafas, sempat terpikir untuk memastikan dia mati dengan menusuk punggungnya, tetapi gue urungkan niat gue tersebut. Kalau gue bunuh dia dalam posisi sudah tidak berdaya seperti ini, sama saja gue jadi pembunuh. Sudah beda feelnya di bandingkan gue membunuhnya dalam perkelahian.

Toh, tusukan gue tadi cukup dalam nyaris 3/4 dari bilah pisau ring tajam masuk ke perut. Di tambah dengan putaran pisau, gue yakin akan menciptakan lubang di perutnya lumayan besar, mengundang darah untuk mengalir dan merembes keluar dari badannya. Satu menit tanpa pertolongan, dia akan mati dengan sendirinya karena kehabisan darah.

Pertolongan, siapa pula yang akan menolong pion kecil seperti dirinya ?

Gue langsung teringat Max. Saat gue melihat ke arah Max, seseorang sedang tersungkur di tanah sementara satu orang lagi sedang menghujamkan senjata ke badan lawannya beberapa kali. Karena mereka berkelahi di spot yang gelap, membuat gue tidak tahu siapa gerangan orang yang sudah menghabisi lawannya.

Fak ! tolong jangan !!

 Gue segera berlari mendekatinya sembari tetap waspada, saat sudah dekat, akhirnya terlihat jelas.

Max masih saja menusuk-nusuk perut lawannya yang bahkan sudah tidak bergerak dan tidak bernyawa.

“Max, sudah cukup, dia sudah tewas.”

Jleb !Jleb !Jleb !Jleb !

Max tidak mengubris omongan gue, dia kini malah menusuk-nusuk dada lawannya.

“Max !!!” gue berseru marah.

“Bentar Yos, gue pastikan dia sudah mati ! gue gak mau dia bangkit lagi kemudian membunuh gue,” ujar Max dengan suara gemetar.

BUGH !!

Gue tendang lengan Max sehingga ia duduk mengelesot. Wajah Max ada beberapa cipratan darah, tangannya apalagi. Gue langsung menaruh simpati kepada Max. Gue kemudian berjongkok di samping Max.

“Kita bukanlah pembunuh, kita membela diri,” gue tepuk pundak Max lalu gue julurkan tangan.

“Ayo kita susul Goku dan Bang Sadli.”

Max menatap gue, ia lalu mengusap-usapkan tangannya yang penuh darah ke celana jeans orang yang ia bunuh lalu meriah tangan gue. Gue bantu ia berdiri. Beruntung sih, kondisinya agak gelap di sini, jadi Max tidak perlu melihat dengan gamblang mayat si keriting.

“Lo terluka?”

Max menggeleng. “Gue gak apa-apa.”

“Good Job Max.”

Gue lalu mendengar suara orang berlari ke arah kami. Damn, lawan datang lagi.

“Kalian gimana aman?” tanya Bang Sadli. Raut mukanya terlihat lega karena melihat gue dan Max masih berdiri tegap, sementara dua lawan kami terbaring di tanah.

Fuahh, rasanya lega melihat dua orang yang mendatangi kami adalah Bang Sadli dan Goku. Baju mereka ada banyak bercak darah, sajam yang mereka bawa juga nampak kusam karena noda. Goku menyeka hidungnya yang berdarah, sementara rambut Bang Sadli yang biasa tersisir rapi mengkilat licin karena biasa memakai pomade sudah acak-acakan. Mereka terlihat baik-baik saja.

“Gue cuma luka gores kecil, Max juga tidak apa-apa, cuma ini anak masih agak shock,” gue rangkul Max dan mengajaknya menjauh dari tempat ia menjagal lawannya.

Saat Max hendak menoleh ke belakang, gue langsung berbisik. “Elo jangan melihat ke belakang lagi, atau dia akan menghantui lo seumur hidup. Trust me, you’ll be fine.”

Max menuruti gue.

“Ayo kita lanjut, kita sudah dekat,” ujar Bang Sadli.

Namun saat kami berempat hendak terus maju, dari kegelapan muncul satu orang yang mengacungkan pistol ke arah kami. Ia berjalan mendekat sambil bersiul. Orang tersebut memakai jaket dan hoodie ditegakkan  Kalau tidak salah, dia salah satu orang yang tadi pergi satu mobil dengan Rambo.

“Kalian berhenti di situ, jika ada yang bergerak, gue kasih hiasan lubang di kepala kalian. Pelor gue lebih dari cukup untuk membunuh kalian berempat, “ ancamnya sambil tertawa mengejek.

“Selain jangan bergerak, buang senjata kalian,” katanya.

Bang Sadli, Goku dan Max membuang sajam yang mereka pegang, cuma gue yang masih pegang sajam.

Dia langsung menyadari bahwa gue tidak membuang pisau yang gue pegang.

“Heh, lo tuli? Cepat buang senjata lo!” hardiknya.

“Elo yang tolol ! kan elo yang minta kami jangan bergerak. Ya gue diam lah.”

Orang tersebut kemudian tertawa.

DOR !!

Dia melepaskan tembakan dan sengaja membidik objek di belakang sana.

“Coba lo bilang sekali lagi..” ancam orang tersebut.

“Yos, buang senjata lo,” pinta Bang Sadli menoleh ke arah gue.

“Cih…” akhirnya gue pun membuang sajam.

Meski kini kami berempat dan dia sendirian, kami yang berempat tidak berkutik sama sekali hanya karena perbedaan kecil.

Kami berempat bertangan kosong.

Sementara dia memegang pistol.

Jarak kami berempat denga dia cukup jauh dan kami  berempat terngah berdiri di ruang terbuka yang cukup luas. Objek terdekat yang bisa kami pakai untuk berlindung dari tembakan adalah peti kemas yang berada sekitar sepuluh meter. Tidak mungkin kami berempat bisa berlari sepersekian detik dan berlindung di balik peti kemas.

Tidak ada manusia yang bisa mengalahkan kecepatan peluru.

Anjing, kami benar-benar terdesak dan kehabisan akal. Satu-satunya harapan kami adalah Bang Hasan muncul dan menolong kami. Gue ingat bahwa di mobil Bang Hasan sempat memamerkan pistol saat mengancam gue agar tidak nekat turun dari mobil.

Lalu kemudian dari arah belakang, dari tempat yang sama orang ini muncul, datang seseorang mendekat. Gue girang karena Bang Hasan muncul lebih cepat dari dugaan gue !

Namun harapan gue langsung padam saat gue menyadari orang yang datang bukan Bang Hasan atau siapapun yang bisa membantu kami. Lagipula jika yang datang Bang Hasan sudah tentu ia menembak orang yang menodong kami terlebih dahulu. Orang yang juga mengenakan jaket hoodie hitam ternyata kawan orang yang menodong kami dan dia juga memegang pistol di tangan kirinya.

Habis sudah.

“Har, untung lo datang, bantu gue giring mereka berempat ke homebase, pelor gue tinggal dua biji, asu haha, untung mereka gak berani macam-macam. Ya jelas gak mungkin macam-macam sih,” ujar si penodong berbicara dengan kawannya.

“Ok.”
  
DOR !

Gue terbelalak melihat apa yang barusan yang terjadi di depan mata gue. Karena kawan si penodong setelah menjawab oke, tiba-tiba menembak kepala temannya dari samping dan dari jarak yang amat sangat dekat, membuat si kepala si penodong tersentak dan langsung ambruk tewas seketika.

Kematian yang amat sangat mengejutkan, mungkin arwah orang ini masih berdiri dan bingung melihat kenapa ia bisa melihat orang yang mirip dengan dirinya terbaring di tanah.

Kami berempat tidak bisa berkutik.

Orang itu tiba-tiba menurunkan moncong pistol dan mendekati kami perlahan. Sembari mendekat ia mengangkat kedua tangannya. Hal ini kami manfaatkan dengan segera kembali menyambar sajam yang tergeletak di tanah.

“Siapa lo?” tanya Bang Sadli.

“Bukan siapa-siapa, namun yang jelas kita punya musuh yang sama. Gue dan lima orang teman gue mundur akan pergi dari sini. Gue sudah mengaktifkan signal jammers, sehingga dalam waktu kurang lebih dua jam sejak di hidupkan, dalam radius 200 meter dari sini, sinyal akan hilang,” ujarnya.

Kuping gue langsung tegak mendengar penjelasannya !

“Code retreat sudah aktif. Bukan cuma kami berenam, total dua ratus lima puluh kru akan pergi dari semua site Blood Creep. Sehingga hanya menyisakan paling banyak lima puluh loyalis kru Blood Creep dan sudah berkurang lima orang karena satu gue tembak, empat lainnya sudah kalian bunuh. Selesaikan urusan kalian secepatnya,  tinggal lima orang termasuk Rambo yang berjaga di homebase. Namun kalian tidak akan mudah mendekat karena Rambo memiliki banyak sekali amunisi.”

“Amunisi?” gue mendekati orang ini dan bertanya.

“Junkyard ini sejatinya gudang senjata dan amunisi. Homebase tempat Rambo menunggu kalian, adalah pusatnya, jadi dia bersantai. Ribuan amunisi dan berbagai macam senjata tersimpan di ruang berpintu besi di mana hanya para leader dan Kobra yang tahu kombinasi angka untuk membukanya. Kami akan pergi dari sini karena kami sudah terikat sumpah untuk tidak ikut campur pertempuran kalian,” katanya.

“Tunggu,” ada banyak hal yang masih perlu gue tanyakan. Gue pegang lengan orang ini dan dari pandangan matanya ia nampak tidak suka karena gue sudah memegangi lengannya. Gue langsung melepas pegangan gue.

“Maaf. Tolong, setidaknya lo bisa berikan kami beberapa info lagi sebelum kalian pergi.”

“Apa?”

“Rio, teman gue yang di sekap, apakah memang benar dia ada di sini? Lalu apakah benar dia sudah meninggal ?”

“Iya.”

Faaaakk, gue langsung lemas mendengarnya.

“Iya apa nih? Jawaban lo itu untuk dua pertanyaan sekaligus ?” Bang Sadli menuntut jawaban yang detail.

“Oh sori, maksud gue, Iya memang betul, anak yang di culik dari Kota XXX berada di sini, dia berada di gudang terpisah, tidak jauh dari homebase. Bangunan yang pintunya berwarna merah. Namun untuk kondisi pastinya, apakah dia masih hidup atau tidak, gue kurang tahu. Rambo sering menyiksanya dan tanpa di berikan makan, bahkan dia kemarin di masukkan ke sansak lalu di gantung. Di jadikan sansak hidup untuk saling ukur kekuatan pukulan di antara loyalis Rambo.They beat up him so freakin bad.”

Darah gue luar biasa mendidih, gue akan bunuh Rambo itu pasti namun gue tidak akan membunuhnya dengan cara instan !! akan gue siksa terlebih dahulu untuk membalaskan dendam kepada Rio.

“Bagaimana cara gue bisa masuk ke gudang tersebut? Apakah gue mesti melewati homebase dulu?”

“Ada satu cara shortcut menuju ke sana dengan aman tanpa perlu konfrontasi dengan Rambo dan loyalisnya. ”

“YESSS !!” Gue mengepalkan kedua tangan gue !

“Akan tetapi…”

“Hanya bisa di akses oleh satu orang saja.”

Gue mikir sejenak, “Cuma bisa di lewati satu orang saja? Apaan nih, masak iya lewat gorong-gorong kayak di film-film,” kata gue ngasal

Dia terdiam, tersenyum kecut dan mengangguk. “Iya, lewat gorong-gorong pembuangan. Ujung dari gorong-gorong itu langsung menuju ke dalam gudang.”

Anying….tapi di saat yang sama gue teringat di hari pertama gue ketemu sama Rio, saat kami berada di SMP yang sama, SMP NEGERI YYY.

***

Di hari pertama sekolah, setelah sepulang sekolah, gue udah janjian sama Rio ketemu di lapangan sepakbola. Tentu saja janjian untuk berantem satu lawan satu, karena di sekolah dia terus-terusan ngelihatin gue dengan tatapan menantang. Awalnya gak gue gubris sih, cuma puncaknya ketika di kantin saat jam istirahat kedua, Rio dengan sengaja menyenggol gelas es teh gue hingga tumpa di meja dan ia meludahi mangkuk soto ayam yang hendak gue makan.

“Kalau lo gak terima, datang jam 3 sore di lapangan bola belakang sekolah. Kalau lo berani sih..” katanya lalu ngeloyor pergi.

Di sisa jam pelajaran sekolah, gue udah gak fokus. Gue udah dendam, pengen gue hajar orang macam dia yang bahkan pada saat itu, gue gak tahu namanya siapa. Hingga kemudian jam 3 tepat, gue sendirian datang ke lapangan bola. Di pinggir lapangan sudah ada Rio bersama teman-temannya berjumlah cukup banyak. Gila juga sih pada waktu itu, baru hari pertama, Rio sudah punya kawan sebanyak itu. Namun gue gak peduli.

Bahkan saat Rio masih nyerocos ngomong gak jelas, gue lempar tas punggung ke muka Rio dan kemudian gue tendang perutnnya hingga dia terjengkang. Saat ia jatuh ke tanah, gue sergap dan gue hajar sampai Rio pingsan tanpa sempat dia melawan. Gue ludahin mukanya sebagai balasan atas makanan gue yang ia ludahi.

Teman Rio tidak ada satupun yang menghalangi gue. Karena tidak ada yang bergerak, ya gue balik kanan. Namun gue ingat ada kejadian konyol saat itu. Karena kemudian gue balik dan mendatangi teman-teman Rio yang coba menyadarkan Rio dengan menepuk-nepuk pipinya.

“Hey, siapa nama bos kalian yang payah ini ?”

“Rio. Kelas 1C.”

“Oh Rio, bilang ke bos kalian, kalau masih penasaran dan masih pengen balas dendam, besok gue tunggu di sini di jam yang sama. Nih siram mukanya pakai air kalau mau buat dia siuman,” kata gue sambil melempar sebotol Aqua ke teman Rio.

Keesokan harinya, gue ketemu Rio di lorong sekolah, dia masuk sekolah dengan muka lebam. Saat kami berpapasan, dia berhenti di depan gue. “Gue balas lo nanti sore,” katanya.

Gue cuma ketawa aja dan bilang, “Sekarang pun boleh kalau lo siap kena hukun dari sekolah,” ya gue tantang Rio sekalian namun dia kemudian melengos pergi. Sore harinya kami kembali berkelahi, kali ini agak seru karena Rio bisa membuat gue mimisan dan satu gigi bawah agak goyang-goyang mau lepas. Meski begitu hasilnya sama, satu tendangan gue ke mukanya membuat Rio kembali tertidur nyenyak.

Dan lucunya, saat kami berdua bertemu kembali di sekolah, Rio kembali menantang gue untuk berkelahi sepulang sekolah meski dengan muka makin bonyok dan gue juga sedikit bonyok sih.

Sore harinya kami berkelahi dan Rio kembali kalah tiga kali beruntun. Besoknya di sekolahan, Rio nantang gue lagi. Oke. Gue layani.

Sore harinya kami berkelahi dan Rio kembali kalah empat kali beruntun. Besoknya di sekolahan, Rio nantang gue lagi. Oke. Gue layani. Meski mulai kesal.

Sore harinya kami berkelahi dan Rio kembali kalah lima kali beruntun. Besoknya di sekolahan, Rio nantang gue lagi. Oke. Fix. Ini mulai menyebalkan. Jadi di perkelahian kami yang kelima, Rio sengaja tidak gue buat pingsan, karena gue pengen negesin sesuatu.

“Woi, bangsat, ini udah lima kali lo kalah, sudah cukup,” kata gue sambil berjongkok di dekat Rio yang tergolek di atas lapangan rumput.

“Terakhir, untuk terakhir kalinya, lawan gue Yos besok ! kalau gue kalah, gue gak akan nantangin elo lagi, sumpah !! ” katanya.

“Oke fix, besok untuk yang terakhir kalinya !”

Lalu kami bersalaman, aneh sih rasanya.

Keesokan harinya, saat menuju lapangan bola, gue kepikiran untuk mengalah saja, bodo amat lah kalau gue kalah, toh semua teman-teman yang anehnya kami juga mulai akrab, tahu kalau Rio itu keras kepala.

Karena terlalu banyak pikiran, membuat gue menyeberang jalan menuju lapangan dengan sembrono dan hari itu gue ketabrak Angkot hinggal terpental dan pingsan. Ronde ke-6 Yosi vs Rio di tunda. Di ganti dengan peristiwa pemukulan para siswa SMP Negeri YYY termasuk Rio terhadap sopir angkot yang sudah menabrak gue. Setelah puas ngehajar si sopir, gue lalu di bawa warga ke Rumah Sakit terdekat. Rio dan teman-teman gue menunggu di RS sampai bokap gue datang. Gue cuma patah tangan kiri dan bokap tidak melaporkan si sopir ke Polisi.

Ronde ke-6 gue melawan Rio tidak pernah terjadi, karena justru dari situ timbul persahabatan gue dengan Rio yang aneh.

“Gue gak perlu balas dendam ke elo Yos, udah di bales sama Abang Sopir angkot yang udah nabrak elo hahahaha,” begitu seloroh Rio ketika satu hari gue iseng bertanya kepadanya, apakah ia masih minat nantangin gue.

Kemudian sejak saat itu, gue dan Rio adalah partner in crime hingga kami berdua sama-sama menyukai dan bahkan ikut balap liar di jalan dermaga.

***

Rio sahabat terbaik gue selain XYZ, akan gue lakukan apapun demi dia.

Termasuk berendam di gorong-gorong yang penuh comberan dan limbah.

“Bang, tolong tunjukkan dimana akses gorong-gorongnya menuju gudang tempat teman gue di sekap,” gue meminta orang ini untuk menunjukkan jalan.

Dia berpikir sejenak. “Oke lah.”

Dia lalu menghampiri mayat orang yang sudah ia tembak. Ia mengambil pistol dan mengeluarkan pelurunya. Peluru yang tersisa tiga kemudian ia masukkan ke dalam magasin miliknya. Lalu ia menyerahkan pistol tersebut kepada Bang Sadli.

“Lo bisa pakai pistol? Ini akan sangat membantu lo menghadapi Rambo dan empat jongosnya yang bersenjata lengkap. Total ada tiga belas peluru di dalamnya. Ini pistol semi-otomatis, lepaskan pin pengaman lalu tekan pelatuknya. Kunci pin jika posisi pistol sedang tidak di gunakan,” terangnya kepada Bang Sadli.

“Oke, gue rasa gue bisa. Thanks.”

Gue lalu menghampiri Bang Sadli, “Bang, gue-.”

“Selamatkan Rio. Gue akan bergabung dengan Bang Hasan dan lainnya,” tukas Bang Sadli memotong perkataan gue.

Gue mengangguk. Gue lalu menitipkan ponsel gue kepada Bang Sadli karena gue sudah pasti akan berendam di got.

“Don’t die as a virgin you motherfocker,” kata gue kepada Goku dan Max.

“Have a nice bath in sewer full of shit,” kata Goku.

Gue ketawa dan mengacungkan jari tengah gue kepada Goku. Lalu gue mengikuti orang ini yang sedikit berlari. “Kita harus cepat,” katanya.

“Siap.”

Gue mengikuti dia dari belakang, kami berlari melewati sela-sela tumpukan bangkai mobil dan gunungan besi rongsok. Gemuruh di atas menandakan malam ini  kemungkinan akan hujan. Di titik ini, gue sama sekali tidak tahu apakah dengan hujan, akan mempermudah atau mempersulit misi. Orang ini berhenti dan kemudian mengeluarkan senter kecil dari balik saku. Ia mencari-cari sesuatu dan kemudian menemukan sebuah pagar berkawat yang di bagian bawahnya sudah berlubang. Gue menyelinap menundukkan badan saat melewati pagar berkawat. Kini kami sudah berada di luar junkyard. Di luar sini gelap, gue gak bisa melihat apa-apa, hanya semak-semak belukar yang tinggi. Kami menyusuri pagar berkawat dari sisi luar, kadang-kadang gue terpeleset karena tanah yang gue injak licin dan berlumpur.

“Di balik semak belukar ini ada sungai kecil, jadi tanah disini gembur dan cenderung berlumpur,” katanya saat ia membantu gue berdiri karena terpeleset.

“Makasih Bang.”

Setelah berjalan kurang lebih lima menit, dia berhenti dan menyorotkan lampu senternya ke sebuah lubang. “Ini dia akses lo.

Gue melihat sebuah lubang kecil di balik timbunan karung-karung.

“Lo mesti merangkak dari sini hingga tepat berada di bawah gudang kurang lebih lima puluh meter. Lo terus saja merangkak hingga mentok ketemu dinding. Di antara dinding itu ada pegangan yang bisa lo pakai buat naik ke atas, sekitar empat meter. Nanti elo akan melihat pintu besi, lo dorong saja ke atas. Saat lo keluar lo akan langsung berada di gudang dan lanjut mencari teman lo. Lo pakai senter ini,” katanya sambil menyerahkan senter kecil.

Gue nelen ludah mendengarnya.

“Bang, ini gorong-gorong, kering kan ya?”

“Ada genangan air pasti, ya sekitar dua puluh meter. Gak masalah karena air tanah campur air sungai. Tantangannya ada di tiga puluh meter terakhir. Karena genangan air mungkin sampai setengah kedalaman pipa. Air dari dalam tidak bisa mengalir karena sumbatan sampah jadi pada dasarnya lo akan merangkak di atas genangan sampah, ya jangan tanya dah itu sampah apa,” katanya sambil meringis.

Jabingan…merangkak…lima..puluh…meter…di..dalam…gorong…gorong…penuh..sampah..segala…jenis…sampah…

“Siapa nama lo?” tanyanya.

“Yosi, Bang.”

“Yosi, baik-baik lo, semoga happy ending. Gila, lo teman yang luar biasa. Gue kayaknya gak akan punya teman yang rela merangkak di gorong-gorong ini demi nyelametin gue.”

Gue langsung kepikiran Yandi, Yosi, Zen dan juga Rio. Gue yakin mereka akan siap melakukan ini.

Friendship above all.

“Nama gue Kahar, kalau satu hari nanti lo main ke Kota BBB, kabari gue.”

Gue menyambut uluran tangannya dan kami bersalaman erat.

“Makasih Bang.”

“Sekali lagi, hati-hati, gue pergi dulu,”

Bang Kahar menyalakan senter dari ponselnya kemudian menghilang di balik semak belukar.

Suara gemuruh di langit kembali terdengar.

Saat inilah gue menyadari satu hal.

Kalau sampai hujan turun, selokan ini penuh air, air hujan akan masuk memenuhi ke gorong-gorong. Jika itu terjadi dimana pada saat yang sama gue masih berada di dalam gorong-gorong….Gue bisa mati tenggelam dan terjebak di gorong-gorong.

Bisa jadi mayat gue tidak akan pernah bisa di temukan oleh siapapun.

Suara gemuruh di langit yang kembali terdengar dan hembusan angin yang semakin dingin, menjadi sinyal gue mesti segera bergerak !

Gue lepas jaket kulit, celana jeans yang akan memperberat gue saat merangkak dalam keadaan basah. Untung gue memakai sepatu kets, yang jika basah tidak akan terlalu mengganggu.

Rio, kalau lo masih hidup dan kita semua bisa selamat dari sini, seumur hidup lo mesti jadi jongossss gueeee, asuuuuuuuuu !




= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #98 LAST PART"